Muslimin Hamzah Sebut Penamaan "Suku Mbojo" itu Keliru dan Menyesatkan (2)

Kategori Berita

.

Muslimin Hamzah Sebut Penamaan "Suku Mbojo" itu Keliru dan Menyesatkan (2)

Koran lensa pos
Jumat, 05 Juli 2019
Muslimin Hamzah
Jadi, salah kaprah penamaan Suku Mbojo ini  tidak memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Dulu, di era daulah raja-raja, nama keramat Mbojo Nae memang didesain sebagai alat propaganda raja untuk memarjinalkan dan mendominasi kawasan di luar Mbojo Nae seperti Kae, Bolo, Donggo,Sanggar, Sape, Wera. Mbojo Nae. Dalam buku baru saya yang segera terbit “GAJAH MADA: PIMPIN EKSPEDISI PADOMPO, PROKLAMASIKAN BIMA”, para priyayi Mbojo Nae menganggap Mbojo itu Kota Dewa yang dihuni oleh warga kelas satu. Ada pun di luar itu, mereka sebut pedalaman seperti Kae, Bolo, Donggo, Sanggar, Sape dan Wera berdasarkan pemahaman kaum orientalis kolonial Belanda mereka sebut Kota Duniawi yang dihuni oleh warga kelas dua. Frasa, Bo, hukum, kehendak dan norma-norma mereka produksi di Kota Dewa untuk didedakkan ke kepala manusia kelas dua. Mbojo bahkan dikira nama lain bahkan nama kuno Bima oleh orang Bima kebanyakan karena begitu masifnya penyebutan nama ini dalam Bo maupun folklore seperti mpama/dongeng. Semua itu proyek politik priyayi/bangsawan Mbojo Nae. Takheran kalau yang menjajah bangsa Bima selain kolonialisme Belanda juga feodalisme bangsawan. 
  
       Karena pikiran saya dianggap bisa meruntuhkan tembok pemikiran feodal oknum bangsawan Mbojo Nae, saya cermati eks wangsa bangsawan Mbojo/Rasanae soal Mbojo dan Bima hampir semuanya kontra dengan status saya sebelumnya. Saya tak bergeming! Pendapat mereka  tidak ada yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Semuanya memakai ilmu Cocokologi alias dicocok-cocokkan saja dengan apa yang mereka dengar dari orang lain. Pijakan ilmiahnya tidak ada, seperti ada kalangan dari Mbojo Nae yang menyebut jauh sebelum Gajah Mada atau Majapahit ke Bima, Kerajaan Bima sudah eksis dan kuat. Ini kata siapa? Ini taklebih dari mpama-mpemo karawo witi.
       
Lantas ada pula yang beranggapan kalau Bima itu mengalami transformasi sejak zaman naka sebagai Negeri Babuju, zaman kerajaan awal disebut Mbojo dan zaman kesultanan menjadi Bima. Ini ilusi, tidak ada dasarnya, validitasnya rendah karena mengada-ada dan sepenuhnya ngarang. Zaman naka itu tidak ada. Itu realitas gadungan/simulakra, sama dengan ncuhi, hasil ilusi pujangga Bo, seperti ditengarai pakar asal Belanda Cornelis Christiaan Berg (1934-1912) diperoleh dengan cara gaib dan mereka bukan berbicara tentang masa lalu tapi justru berfantasi tentang masa depan. Mereka menggunakan kekuatan sihir, jin-jin dan roh-roh orang dulu/nenek moyang yang dipanggil lewat jasa iblis, untuk mengumpulkan informasi. Dus, soal naka dan ncuhi itu sesat dan penuh kurafat. (Bersambung)