Ilyas Yasin, S. Ag, MM.Pd |
Diguyur Dana Desa di atas Rp 1 milyar pertahun desa kini kian bergairah dan jadi magnet baru. Sebelumnya desa seolah mewakili segala kesialan di republik ini: tertinggal, terbelakang, melarat, akses dan sumberdaya yang serba terbatas.
Singkatnya, desa itu seperti tempat jin buang anak. Tapi sekarang secara perlahan citra tersebut mulai berubah.
Desa bahkan telah menjadi medan kontestasi politik baru yang tak kalah serunya.
Banyak figur potensial, termasuk kalangan muda, yang tertarik mengambil bagian dalam pemerintahan desa khususnya sebagai kepala desa. Sebab peran dan posisi Kades kini tak kalah strategisnya dari DPRD. Mereka ikut menentukan hitam-putihnya desa.
Di sisi lain pembenahan dan keberpihakan terhadap desa diharapkan dapat mengerem laju urbanisasi terutama dari kalangan muda. Banyak ajakan dan kampanye agar kaum muda tidak ke kota karena di desa pun mereka bisa berkembang dan membangun usaha sesuai kreativitasnya.
Berbagai fasilitas jalan, jembatan, irigasi, pasar dan infrastruktur lainnya, termasuk jaringan internet, terus digenjot untuk mendukung percepatan ekonomi dan produktivitas warganya.
Pendekatan dan model Dana Desa (DD) disebut-sebut banyak diduplikasi di negara lain karena berhasil menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran di desa.
Meski begitu, pendekatan baru ini menimbulkan arus balik yang mengkhawatirkan. Diantaranya, pertama, DD berpotensi mematikan partisipasi dan budaya gotong royong yang telah ada sebelumnya.
Padahal model pembangunan yang bersifat top dawn selama Orde Baru berkuasa telah menyebabkan terjadinya pendangkalan dan tergerusnya budaya yang massif. Materialisasi jadi tidak terhindarkan dalam banyak rancang-bangun yang dilakukan rezim Orde Baru.
Sebaliknya DD justeru berpotensi menciptakan ketergantungan pada dana dari pemerintah.
Kedua, terjadinya pergeseran budaya politik di desa. Perilaku koruptif dan politik transaksional juga mulai menodai pelaksanaan pemerintahan maupun kontestasi politik elektoral di desa, termasuk praktik jual-beli jabatan dalam perekrutan staf desa.
Hal itu terbukti dari banyaknya kepala desa yang terjerat kasus korupsi. Kalau ini terus terjadi, maka DD bukan saja anugerah melainkan juga musibah. Haruskah DD terkena ‘kutukan’ otda yakni ketika kejahatan korupsi itu berpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, bahkan pemerintah desa?
Semoga Dana Desa tidak berubah jadi Dana Dosa. (*Penulis adalah Dosen di STKIP YAPIS Dompu)