HATI YANG KOSONG (Catatan Hari Kartini dan Hari Pendidikan Nasional)

Kategori Berita

.

HATI YANG KOSONG (Catatan Hari Kartini dan Hari Pendidikan Nasional)

Koran lensa pos
Minggu, 30 April 2023

 

Rukyatil Hilaliyah Rasyad*


Setelah mengakhiri liburan lebaran dengan saudara dan ponakan, saya sesungguhnya sudah bertekad untuk  membuat sebuah tulisan. Yang saya rasa dapat mewakili perasaan saya sekaligus memenuhi request teman saya yang rupanya menunggu tulisan saya tentang Kartini-Kartini hebat pada tanggal 21 April 2023 lalu. 


Saya berpikir keras. Apa yang harus saya tulis. Karena terus terang, moment hari Kartini saya lewatkan begitu saja. Nyaris lupa! 


Beranda-beranda FB yang biasanya selalu jadi pengingat bagi moment-moment nasional pun sepi dari twibon-twibon Hari Kartini. Ada beberapa, tapi ketika  saya scroll lalu menghilang! 


Hari Kartini bersamaan dengan hari  lebaran idul Fitri 1444 H. Gaungnya menggema dilorong sunyi. Ditelan gema takbir dan tahmid yang berkumandang di seluruh pelosok ibu pertiwi. Saya sendiri sangat disibukkan dengan berbagai macam hal. Misalnya, 10 hari sebelum lebaran saya sudah sibuk dengan mencicil memanggang kue kering buat tamu-tamu nantinya. Lalu, sedikit demi sedikit saya membenahi rumah karena kakak dan adik saya yang dari luar kota bakal mudik. 


Hari-hari menjelang lebaran. Selain pemudik sudah memenuhi rumah, di mana makanan dan bertukar cerita menjadi sama derajad kenikmatannya,  membuat saya enggan duduk merenung, apalagi berpikir serius tentang bangsa dan negara.


Belum lagi opor dan karencu (ketan yang dicampur parutan kelapa dan diikat dengan daun kelapa, lalu dimasak)  yang menjadi ikon dari tradisi lebaran  keluarga, juga meminta ruang khusus untuk diisi. Butuh tenaga dan keterampilan khas untuk tetap 'stay' di mode ini. 


Walhasil, moment hari Kartini yang seharusnya menjadi momentum kebangkitan perempuan dari keterpurukan, kebodohan, marginalisasi, subordinat, stereotipe, dan berbagai macam istilah yang membelenggu perempuan untuk tetap berada di ruang-ruang gelap dominasi laki-laki terlupakan. Padahal hampir 2 abad lalu perempuan Indonesia  terbebaskan oleh perempuan bernama RA Kartini , seorang anak bupati yang sederhana serta memiliki kemauan dan  keberanian belajar yang luar biasa. 


Meski menurut saya. Kartini tidak berniat berjuang membebaskan perempuan  bangsa ini dari ketidakadilan dan ketidakberanian perempuan dalam memperjuangkan dirinya. Tetapi sejatinya apa yang dilakukannya adalah untuk membebaskan dirinya sendiri. Pikirannya sendiri. Idenya sendiri. 


Lewat surat-surat yang dikirimkannya kepada teman-temannya di Eropa. RA Kartini banyak bercerita, berdiskusi, dan bertanya tentang banyak hal. 


Sesuatu yang tidak biasa yang dilakukan oleh seorang perempuan pribumi. Perempuan yang pada masa itu hanya mampu diam, mengangguk,  tanpa berani menggeleng! 


Seorang Kartini mengunggat! Memang tidak langsung kepada bapaknya yang seorang wedana, namun Kartini telah berani merangkainya dalam tulisan berupa berpucuk-pucuk surat pribadi yang dirangkai dalam bahasa Belanda yang indah,  teratur dan fasih; inilah kelebihan RA Kartini.  


Lalu oleh JH. Abendanon, yang saat itu menjabat seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkannya dan menyusunnya menjadi satu buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Terang". Buku ini  diterbitkan pertama kali pada tahun 1911 (Wikipedia). Yang kemudian diterjemahkan oleh Armyn Pane dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" 


Dari pikiran-pikiran polos dan sederhananya itu, kemudian banyak membangkitkan inspirasi dan gerakan kaum perempuan untuk mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin. 


Di lain pihak. Laki-laki juga digelitik kesadarannya tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam kerja-kerja publik. Mendorong perempuan untuk menimba ilmu banyak-banyak agar wawasannya lebih luas dan terbuka. Tidak melulu antar sumur dan kasur. 


Misalnya, di bidang pendidikan. Pengajaran yang diberikan secara kombinasi oleh pendidik laki-laki dan perempuan akan memberikan efek berbeda kepada murid ketika diberikan oleh guru laki-laki saja atau perempuan saja. Begitu pula di bidang-bidang lainnya. Di eksekutif, misalnya;  lubang-lubang hitam (blackhole) dalam sistem perencanaan pembangunan akan sangat mudah terpecahkan ketika perempuan dan laki-laki duduk bersama. Menurut seorang psikolog, kombinasi dua karakter;  dari laki-laki yang sangat fokus, lurus, dan konsentrasi penuh akan dapat disempurnakan oleh perempuan yang multi talent, dapat mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan.


Intinya apa yang dilakukan oleh RA Kartini adalah "membebaskan" pikirannya dari pertanyaan-pertanyaan besar yang tumbuh dan berkembang dalam benaknya. Dicarinya jawaban-jawaban pada teman-teman eropanya yang menurutnya jauh lebih bebas dalam berpikir dan bertindak.


Tentu saja tidak semuanya terjawab, namun keberaniannya untuk mengeluarkan pertanyaan dan pendapatnya sebagai perempuan telah menjadikan dirinya manusia yang bebas ! Meski bukan bebas nilai! 


Dan pada masa sekarang. Ada banyak Kartini - Kartini muda yang juga memiliki visi membangun perempuan Indonesia secara holistik.

Dan saya? Meski saya terinspirasi oleh RA Kartini. Tetap memacu diri untuk tetap memberi vitamin pada otak saya lewat literatur-literatur yang masih saja membuat bibir saya berbentuk "Ooo" setiap  kali ada fakta baru yang saya fahami. tapi ternyata saya juga masih sangat menikmati

 "keperempuanan" saya sebagai seorang ibu, seorang adik, seorang kakak, bahkan sebagai seorang nenek dari cucu-cucu kakak saya. Menjadikan rumah dan dapur saya sebagai pabrikasi cinta dan kasih saya lewat makanan dan minuman yang saya sajikan. 


Dan "keperempuanan" saya ini yang telah menyebabkan saya  melupakan moment 21 April tahun 2023. 


Oleh karena itu, untuk menebus kealpaan saya, serta tetap memberi apresiasi terhadap sesama perempuan yang telah berhasil meletakkan landasan pembebasan bagi perempuan Indonesia, maka hampir dua  hari saya berpikir  dan saya memutuskan untuk menulis sebuah artikel atau semacamnya dengan judul "Kartini Yang Terlupakan" 


Namun belum pun saya mulai tulisan itu. Hati saya seperti tergodam!

3 kabar duka susul menyusul di akhir libur lebaran. Hati saya nelongso. Kosong!


3 orang yang saya anggap sahabat, teman, dan adik yang pernah mengisi ruang-ruang kenangan saya di masa lalu meninggal secara mendadak  dalam waktu yang berdekatan! 


Satu orang, mengisi ruang kenangan saya semasa kuliah di Makasar. Banyak cerita lucu yang membuat saya selalu tersenyum. Belum genap 100 hari istrinya meninggal, ia menyusulnya. Sungguh cepat! 4 orang anaknya yatim piatu dalam sekejap! 

Kamarin, betapa tegak kepala anak-anak itu. Bukan karena mereka kuat, saya pikir. Tapi karena tidak ada lagi dada atau bahu ayah ibunya untuk bersandar! Yaa Rabb bagi Kemahakuatan-Mu pada anak-anak itu. Seandainya saja pasal 30 dalam undang-undang Dasar negeri ini efektif diterapkan, tentu hati saya tidak segalau ini. Ada negara yang menanggungnya. 


Orang kedua;  yang mengisi ruang kenangan saya ketika merintis  pekerjaan di desa lanci Jaya dan Suka Damai. Seorang abang yang tidak banyak bicara, tapi saya tahu, dia sangat peduli. Istrinya yang seorang pejabat tidak membuat saya khawatir dengan anak yang ditinggalkannya. 


Yang ketiga;  orang yang mengisi ruang kenangan saya sejak kecil. Sorang adik perempuan yang selalu siap membantu keluarga besar saya di mana pun dan kapan pun. Rasanya suara selopnya masih bisa saya dengar dari halaman rumah saya ketika dia berkunjung dengan anaknya.  


Seorang perempuan yang selalu mencoba berdiri tegak untuk memperjuangkan anaknya. Permata hatinya. Penerus bangsanya. Seorang Kartini yang ingin membebaskan anaknya dari kebodohan dan keterbelakangan. Melindungi generasi penerusnya dari caci dan buli teman sebaya karena kedhuafaannya.  


Meski untuk itu. Dia harus memungut dan mengeringkan kulit kayu dan menawarkan dari rumah ke rumah dengan harga lima ribu rupiah per ember. Sepuluh ribu rupiah, cukuplah untuk membeli 2 nasi bungkus hari itu.  Atau sekali-sekali mencuci pakaian tetangga. Menjual panganan kecil dan minuman cepat saji di depan rumahnya.  Kalau dia mengingat saya, dia akan datang dengan senyum sumringah dan tok-tok bunyi selopnya! 


Ya Allah, Engkaulah pemilik kehidupan! 

Hatiku  ternyata sangat rawan. 


Astaghfirullah!


Dialah Kartini sesungguhnya! 


Saya yakin masih banyak Kartini - Kartini di luar sana yang membutuhkan dukungan dan motivasi untuk terus berdiri tegak memperjuangkan hidupnya sendiri beserta anak-anaknya! 


Tidaklah layak menggibahi  kemiskinan dan kerja kerasnya, karena itulah jalan yang diskenariokan oleh Pemilik hidup!


Kartini yang di rumah-rumah itulah, pendidik sejati yang dengan setia memperkenalkan huruf Hijaiyah dan alfabet pada generasi penerusnya! Merekalah guru dan pendidik pertama. 


Cara berempati pada Kartini-Kartini itu adalah dengan menyiapkan anggaran yang pro perempuan. Mengalirkan air bersih yang cukup dan layak ke setiap rumah agar mereka tetap sehat dan kuat untuk menanggung beban. Meneruskan kebiasaan baik untuk meminum "pil tambah darah" bagi kartini-kartini muda di sekolah - sekolah!


Memastikan bahwa anak-anak mereka dapat mengakses pendidikan yang inklusif. Pendidikan yang tidak mengenal kelas sosial dan keterbatasan fisik. Pendidikan yang adil bagi semua anak. 


Mengatur dan memberdayakan UMKM yang tumbuh di setiap sudut kota sebagai penopang ekonomi keluarga. 


Menyiapkan ruang terbuka hijau dan ruang bermain yang ramah anak. Aman, nyaman, dan gratis. 


Yang jelas, perjuangan butuh konsistensi, tidak peduli sebesar apa rintangan yang harus dilalui yang terpenting Allah selalu ada mengiringi! 


Selamat hari Kartini bagi perempuan-perempuan hebat Indonesia!! 

Tetap semangat! 


Selamat hari pendidikan Nasional! 

Salam Merdeka Belajar!


*Penulis : Jafung Analisis Kebijakan pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Dompu