Di Balik Jeritan Petani Soal Pupuk Subsidi, Ini Suara Hati Pengecer

Kategori Berita

.

Di Balik Jeritan Petani Soal Pupuk Subsidi, Ini Suara Hati Pengecer

Koran lensa pos
Sabtu, 01 Oktober 2022

 

  Gambar pupuk urea bersubsidi



Dompu, koranlensapos.com - Persoalan pupuk bersubsidi selalu menjadi jeritan bagi petani di Kabupaten Dompu NTB. Pupuk langka, mahal, dijual secara paketan dengan non subsidi, maupun penjualan di atas HET menjadi keluhan petani saban tahun.
 Para pengecer selalu dituding jadi biang keladi semua itu. Pengecer dinilai 'nakal' di dalam penyaluran barang bersubsidi dari pemerintah pusat yang menjadi amanat untuk petani-petani kecil itu.

Ternyata di balik jeritan para petani tentang pupuk bersubsidi ini, para pengecer juga berada dalam posisi yang berat dan pelik. Menjadi pengecer pupuk bersubsidi bukan hal yang mudah. Sorotan-sorotan tajam masyarakat yang mayoritas petani selalu tertuju kepada mereka tanpa mengetahui persoalan sebenarnya yang dihadapi oleh para pengecer. Posisi pengecer terjepit. Selalu menjadi objek sorotan dari berbagai pihak. Dari atas yaitu pemerintah maupun distributor. Dari bawah yakni para petani yang selalu ingin mendapatkan bagian lebih banyak dari jatah yang seharusnya. 
Pokoknya seabreg persoalan harus diterima dan dihadapi oleh pengecer dalam melaksanakan amanah penyaluran pupuk bersubsidi itu.

Itulah uneg-uneg yang disampaikan oleh salah satu pengecer di Kabupaten Dompu yang enggan ditulis identitasnya. Disadarinya petani kecil memang mengalami kesusahan akibat harga pupuk, obat-obatan maupun benih yang semakin melonjak. Kuota pupuk bersubsidi juga terbatas, tidak mampu memenuhi kebutuhan petani. Di sisi lain, harga pupuk non subsidi sangat mahal, sulit untuk dijangkau oleh petani kecil. 

Sebagai pengecer juga menghadapi kesulitan di dalam menyalurkan pupuk bersubsidi kepada kelompok tani yang telah terdaftar dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Ia mengeluhkan sejumlah persoalan yang dihadapinya sebagai pengecer dalam mengalokasikan pupuk bersubsidi dari pemerintah kepada masyarakat petani.

Dari sisi permodalan, ia mengaku keuntungan yang didapatkan pengecer tidak sebanding dengan modal yang harus dikeluarkan. Belum lagi untuk pengangkutan pupuk itu membutuhkan biaya operasional dan harus menyewa buruh.

"Modal lebih kurang 120an ribu per sak keuntungan hanya 3500 per sak," akunya.

Di samping itu, pengecer ini mengaku 
setiap pengurusan apa saja dirinya harus mengeluarkan biaya. Belum lagi 
risiko terhadap kesalahan yang harus dihadapi cukup rumit.

Risiko kesalahan yang dimaksud adalah banyak petani yang memiliki tanah tetapi namanya tidak terdata di dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) agar bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Petani yang tidak terdaftar di RDKK ini ingin mendapatkan pupuk bersubsidi dengan dalih memiliki lahan pertanian. Sebagai pengecer pihaknya tidak bisa memenuhi permintaan petani untuk mendapatkan pupuk bersubsidi karena alokasi pupuk bersubsidi hanya bagi petani yang terdata dalam RDKK.

Sebaliknya ada petani yang namanya terdaftar dalam RDKK tetapi tidak mengambil pupuk yang menjadi jatahnya. Ini juga menjadi persoalan bagi pengecer karena akan dianggap menimbun pupuk bersubsidi.

Fakta lain yang dialami ada petani yang punya lahan sedikit tetapi jatah pupuknya banyak. Ada pula terjadi ketidaksesuaian nama dan NIK petani yang terdata dalam RDKK dengan nama dan NIK di KTP.

"Ini akan menghambat penyaluran pupuk ke petani, sementara kalau kita jalankan sesuai mekanisme, keributan di tengah masyarakat takkan terhindarkan," akunya.

Ketimpangan harga subsidi dengan non subsidi yang terlampau jauh menurutnya juga menjadi masalah yang harus diatasi. Harga non subsidi yang cukup tinggi mencapai Rp. 650 ribu membuat petani merasa berat. Akhirnya untuk memenuhi kebutuhan pupuk secara keseluruhan dengan memaksa untuk mendapatkan pupuk bersubsidi semua. Padahal kuota pupuk bersubsidi per hektar sangat terbatas.

"Akan banyak orang yang menolak menjadi pengecer kalau benar-benar kerja sesuai aturan, kasihan petani dan pemerintah," pungkasnya. (emo).