MENGAPA LITERASI DOMPU TERBELAKANG?

Kategori Berita

.

MENGAPA LITERASI DOMPU TERBELAKANG?

Koran lensa pos
Kamis, 05 Mei 2022

 

                 Andi Fardian* 


Saya harus mengatakan bahwa literasi Dompu terbelakang. Istilah terbelakang itu bermakna: ada di belakang, tidak berkembang, tidak maju, atau menghadapi keadaan yang miris. Anda bisa cek data Indeks Alibaca Kabupaten dan Kota di Indonesia. Alih-alih masuk 10 besar nasional, masuk 200 besar saja Dompu tidak mampu.

Saya tidak akan mengambil pusing kalau ada orang yang sinis atau bahkan memaki saya karena mengungkapkan ini. Atau menilai saya tendensius dengan pemerintah daerah. Terkait hal yang terakhir itu, sekitar dua tahun yang lalu seseorang yang mengklaim dirinya sebagai pemerhati budaya menilai saya sakit hati karena pemerintah tidak memperhatikan buku-buku saya. Entah dari mana ia mendapatkan info itu. Yang bersangkutan menilai saya sakit hati karena Dinas Perpustakaan dan Arsip Dompu membatalkan kerjasama pengadaan buku saya dan kedua adik saya.

Saya tertawa saja membaca komentar itu. Besaran nilai kerjasama yang batal itu adalah Rp3 Juta. Dia tidak tahu bahwa sepanjang 3 tahun tarakhir saya sudah menghibahkan tidak kurang dari 350 eksemplar buku-buku yang saya tulis kepada masyarakat Dompu, seperti beberapa perpustakaan, komunitas baca, dan individu. Anda bisa kalikan 350 eksemplar dengan rata-rata harga buku saya Rp60.000 = Rp 21.000.000.

Ada individu Dompu yang mau menyumbang sebesar itu untuk pengembangan literasi di Dompu? Saya kira tidak ada yang mau, setidaknya sampai detik ini. Artinya, bahwa ketika kerjasama itu batal, saya justru tidak pernah sakit hati sedikit pun. Saya justru keluarkan uang pribadi saya untuk mencetak buku-buku itu, lalu dikirim ke Dompu. Tujuan saya cuma satu: saya mau daerah asal saya maju literasinya. Literasi Dompu sedang bobrok. Terhadap orang yang berkomentar itu, saya hanya bilang, “Bacot, tok, kamu. Hanya bisa na’e tala.” Hehehe

Mengapa literasi Dompu terbelakang? Pertama, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Dompu miskin koleksi buku. Anda tahu berapa jumlah koleksi buku di Perpusda Dompu? Tidak lebih dari 4.000 buku. Jumlah tepatnya adalah 2.727 buku. Dan buku-buku  itu sebagian besarnya adalah terbitan lama. Dari jumlah itu, 397 buku adalah fiksi Indonesia. Fiksi! Bagaimana kita rakyat Dompu bisa cerdas, kalau yang disuguhkan kebanyakan fiksi. Buku-buku pengetahuan populer masing-masing bidang tidak lebih dari 15. Bahkan ada yang cuma 4, 5 atau 8 buku. Tahu dari mana data-data ini, Mas Andi? Saya baca dan caritahu dari sumber yang valid.

Rendahnya indeks literasi sebuah daerah tidak hanya karena minat baca masyarakat yang rendah, tetapi kareka koleksi buku yang dibaca tidak layak, baik dari sisi jumlah maupun kualitas. Menurut UNESCO, idealnya setiap orang harus membaca 3 buku baru dalam setahun. Sementara di Dompu jauh panggang dari api. Alih-alih buku baru, buku lama saja jauh dari kata cukup. Jumlah penduduk Dompu adalah 241.836 jiwa dan dan jumlah buku di Perpusda Dompu adalah, katakanlah, 3.000. Jadi rasionya adalah 81:1, artinya 1 buku ditunggu oleh 81 orang. Alih-alih 1 orang membaca 3 buku baru.

Atas dasar itu, jadi wajar literasi Dompu terbelakang. Perhatian terhadap jumlah dan kualitas buku tidak menjadi prioritas. Mungkin diprioritaskan, tapi tidak cukup dana. Tapi, ‘kan pemerintah harus inovatif dan kreatif. Masak, begitu-begitu saja.

Kedua, salah kaprah terhadap makna literasi. Beberapa pihak salah kaprah terhadap istilah literasi. Mereka menganggap bahwa literasi itu cukup bisa membaca, menghitung, dan menulis. Padahal tidak begitu. Literasi itu adalah memahami yang tersurat maupun tersirat dari apa yang tertera di tulisan. Akibat kesalahpahaman itu, muncul beberapa program yang tidak tepat sasaran. Contoh: untuk meningkatkan literasi siswa, guru meminta siswa membaca 15 menit sebelum KBM. Siswa hanya disuruh membaca, tapi tidak menindaklanjuti apakah siswa memahami yang ia baca. Jadi tidak ada gunanya.

Ketiga, pemerintah kurang inovatif. Seharusnya Pemda Dompu belajar dari beberapa kabupaten dan kota yang maju literasinya. Kabupaten Magelang, misalnya, memprogramkan perpustakaan desa. 1 desa 1 perpustakaan. Pemda Dompu harus inovatif. Kalau ada yang bilang keterbatasan anggaran, bagaimana? Kabupaten dan kota lain juga terbatas anggarannya, tapi mereka punya program pengembangan literasi. Intinya, ada pada inovasi. Kalau tidak inovatif, ya, jangan jadi pemimpin dan pelayan rakyat. Semboyan “Nggahi Rawi Pahu” harus diwujudkan untuk mengembangkan literasi. Jangan hanya wacana.

Saya kira cukup tiga penyebab itu dulu. Lantas, solusinya bagaimana? Lakukan afirmasi positif dari ketiga persoalan di atas. Saya bersedia tanpa dibayar untuk membantu Pemda Dompu mengembangkan literasi. Tapi apakah harus saya? Tidak harus. Ada beberapa penulis yang tinggal di Dompu yang bisa diminta kontribusinya untuk meningkatkan literasi di Dompu. Ayo!

*Penulis : Andi Fardian (Dou Ranggo)