Elegi Dana 'Dompu (part. 4)

Kategori Berita

.

Elegi Dana 'Dompu (part. 4)

Koran lensa pos
Minggu, 06 Maret 2022

 Oleh : Ir. Nurhaidah*

         Sultan Muhammad Sirajuddin                                       (Manuru Kupa)

Dana 'Dompu Pasca Sultan Muhammad Sirajuddin Diasingkan

Saat Belanda meminta kepada sultan Muhammad Sirajuddin,  sultan Dompu yang ke-20, sebidang tanah untuk membangun kantor Asisten Residen Belanda di Dompu, Sultan memberikan 'dana sakampa' (tanah setangkup)  kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Bima. 
Tentu saja hal ini membuat Belanda tersinggung, tapi belum cukup alasan untuk menyingkirkan sang pembangkang. 
Akhirnya tindakan pengasingan terhadap Sultan Muhammad Sirajuddin terjadi juga, dengan beberapa alasan.  Sultan menolak memberikan upeti kepada Belanda, tidak mengijinkan perdagangan candu dan miras, tidak menyetujui kerja rodi bagi rakyatnya dan menolak politik dominasi dependensi yang dilakukan Belanda, dan tidak bisa mengamankan perselisihan antara kedua putranya. Bersama kedua orang putranya Abdul Wahab (putra mahkota)  dan Abdullah berdasarkan besluit GG (Gubernur General)  No.  11 tertanggal 15 Januari 1934, sultan diasingkan, sampai wafatnya di Kupang. Rakyatnya memberinya gelar anumerta "Manuru Kupa(ng)". 
Dengan demikian, Kesultanan Dompu menjadi fakum. 
Akibat kefakuman pemimpin di Kesultanan Dompu, akhirnya Belanda berhasil menempatkan Controller HPB di Dompu dengan membentuk pemerintahan sementara untuk mengurus Kesultanan Dompu yang disebut Zelfbestuure Comissie yang dipimpin oleh Hofd van Plaatslijk Bestuure (HPB), sebagai Voozichter dengan anggotanya jeneli Kempo H.  Achmad, jeneli Dompu Muhammad Saleh Abdul Majid yang sekaligus bertindak sebagai Bumi Luma. Sejak itu,  Dompu tidak dipimpin oleh sultan,  namun dipimpin langsung oleh Belanda dengan istilah Gezaghebber. 

Sejak terbentuknya Badan Penyelenggara Pemerintahan di kesultanan Dompu yang disebut Zelfbestuure Comissie tahun 1934, akibat sultannya diasingkan, niat Belanda untuk menempatkan Controller HPB yang selama ini tidak diijinkan oleh sultan Muhammad Sirajuddin, meski dengan segala macam iming-iming,  termasuk salah satunya akan dibangunkan istana megah yang ditolak oleh sultan, akhirnya terlaksana juga.  

Rencana selanjutnya adalah Belanda memerintahkan Bumi Luma untuk memukimkan penduduk yang terpencar pada lokasi yang berdekatan, yaitu orang Polo di teluk Cempi dimukimkan di Kandai dua, penduduk Temba Lae,  Lawiti,  La Ro'o dan Rango di Ranggo, penduduk Puma, Teri,  dan Tolo Doro di Hu'u,  penduduk Rodi di Daha,  dan penduduk Rumu dan Soro Adu di Adu.
 
Dalam rencana untuk memperbanyak penduduk Dompu, Bumi Luma memukimkan orang-orang dari Bima (Mbojo) secara bertahap, yaitu dari Belo, Monta, Ragi, Wawo, Tente,  Buncu,  Nata, Teke,  dan lain-lain. Untuk misi mendatangkan orang-orang Bima (dou Mbojo), Bumi Luma merampas tanah-tanah orang Dompu yang dianggap tidak loyal untuk dibagikan kepada orang-orang Bima (dou Mbojo) yang akan didatangkan.  
Tindakan ini membuat rakyat dan pemuka Dompu protes. Akhirnya atas tindakannya tersebut, Belanda memberhentikan Muhammad Saleh Abdul Majid, dan dengan besluit Zelfbestuurder Dompu tanggal 24 April 1939 Nomor 27, diangkatlah Muhammad Tajul Arifin sebagai penggantinya. 

Inilah awal dari bermukimnya orang-orang Bima (dou Mbojo) di Dompu sebagai pendatang. (Sumber : AR.  Mustakim, Moh.  Kisman, El-Hayyat Ong)

(Bersambung)

*Penulis adalah Peneliti dan Pemerhati Sejarah dan Budaya Dompu