"Ngoho Bote" Terus Terjadi, KPHL Topaso 68 Ribu Ha, Personel dan Anggaran.Minim

Kategori Berita

.

"Ngoho Bote" Terus Terjadi, KPHL Topaso 68 Ribu Ha, Personel dan Anggaran.Minim

Koran lensa pos
Selasa, 02 November 2021

 

      Kasi PHKSDAE, Ruslan, S. Hut (berseragam dinas Polhut) dan Kasi P2HPM BKPHL Topaso, Kus Marihadi, S. Hut 


Dompu, koranlensapos.com - Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (BKPHL) Toffo Pajo Soromandi (TPS) memiliki luas kawasan sekitar 68 ribu Hektare (Ha) yang terdiri dari Register Tanah Kehutanan (RTK) Toffo Rompu dan Pajo sekitar 24 ribu Ha dan Soromandi seluas 44 ribu Ha meliputi kawasan hutan lindung mulai dari Hu'u hingga perbatasan dengan wilayah Madapangga.

Adapun RTK 55 Soromandi meliputi sebagian Kecamatan Kilo di bagian utara, sebagian Kecamatan Manggelewa  Kabupaten Dompu di bagian utara, Kecamatan Woja (Resort Panca), Kecamatan Donggo, dan Kecamatan Soromandi di Kabupaten Bima. Lokasi eksplorasi PT. Sumbawa Timur Maining (STM) di Kecamatan Hu'u maupun lokasi Hak Guna Usaha (HGU) PT. Usaha Tani Lestari (UTL) serta lokasi pembangunan Bendungan Rababaka Kompleks juga berada dalam pengawasan BKPHL Topaso.


Wilayah tugas demikian luas yang dibagi dalam 7 (tujuh) resort itu, tidak didukung dengan jumlah Polisi Kehutanan (Polhut) yang memadai. 
Jumlah pegawai keseluruhannya 60 orang. Sekitar 20 orang di antaranya berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan sisanya adalah tenaga kontrak. 
Dari jumlah di atas, banyak pula yang sudah hampir memasuki usia pensiun sehingga yang bisa dilibatkan untuk kegiatan pengamanan dan pengawasan hutan hanya sekitar 20 orang dibantu oleh Pengamannan Hutan (Pamhut).

Sedangkan Polhut (Polisi Kehutanan) yang bertugas di BKPHL Topaso hanya 3 (tiga) orang.

Kepala Seksi Perlindungan Hutan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Ruslan, S. Hut mengemukakan bahwa pihaknya sudah berusaha secara maksimal dengan mengerahkan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan tugas pengamanan hutan. Tetapi tidak bisa dipungkiri aktivitas perambahan hutan oleh oknum masyarakat tetap terjadi. Oknum-oknum masyarakat yang tidak memiliki kesadaran ini kerap main kucing-kucingan dengan petugas untuk melakukan aktivitas ilegal yang dilakukan. Ketika petugas sedang patroli di sekitarnya, oknum masyarakat ini menghindar. Ketika petugas patroli di wilayah lain, mereka memperluas lahannya dengan membuka kawasan hutan.

"Kami sudah berupaya maksimal tapi tetap terjadi kecolongan karena yang memperluas lahan ini justru petani-petani yang bermitra dengan kehutanan. Mereka membuka hutan lima meter lima meter alasannya Ngoho Bote untuk menghalau monyet," ungkap Ruslan.

Ruslan menjelaskan petani mitra ini maksudnya adalah anggota kelompok tani mitra KPH yang telah mendapatkan SK dari Kepala Dinas LHK Provinsi NTB dalam Program Perhutanan Sosial. Program tersebut merupakan upaya pemerintah untuk merehabilitasi kembali kondisi hutan yang telah lama dirambah oleh masyarakat dengan merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 83 tahun 2016. Di sisi lain program kemitraan ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Terkait dengan aktivitas ilegal "Ngoho Bote" yang dilakukan oleh oknum-oknum petani mitra tersebut, Ruslan mengaku pihaknya selalu mewanti-wanti agar jangan lagi ada kegiatan yang sama. 

"Kalau masih melanggar, izin kemitraannya bisa dicabut kembali," tegas Ruslan.

Lebih lanjut ia menjelaskan kelompok kemitraan memiliki hak dan kewajiban. Haknya adalah memanfaatkan lahan yang telah diduduki itu untuk menanam tanaman produktif yang hasilnya untuk dinikmati sendiri. Tanaman produktif dimaksud bisa berupa tanaman semusim misalnya jagung, porang, jenis empon-empon (jahe, kunyit, temulawak, kencur), tanaman jangka menengah (rambutan, klengkeng) maupun tanaman jangka panjang (kemiri, durian). Kewajibannya antara lain menanam 400 pohon tanaman pokok. 

"Menanam 400 pohon ini bisa secara bertahap. Tahun ini 100 pohon, tahun depan 50 pohon lagi dan seterusnya sampai mencapai 400 pohon dalam satu hektar," jelasnya.
Dikatakannya petani mitra juga berkewajiban agar menjaga kawasan hutan yang masih utuh di sekitarnya. Dia tidak boleh membabat hutan itu walaupun dengan alasan ngoho bote (mengusir monyet) dan harus melarang apabila ada orang lain yang berkeinginan untuk membuka kawasan hutan di sekitar itu.

Ruslan mengemukakan bahwa pihaknya sangat menginginkan untuk melakukan operasi gabungan dengan TNI maupun POLRI secara rutin dalam upaya mencegah terjadinya aksi ilegal perambahan hutan yang lebih luas lagi, namun dengan keterbatasan anggaran sehingga hal itu tidak bisa dilaksanakan. 

Pada kesempatan yang sama, Kasi Perencanaan Pemanfaatan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat (P2HPM).
Kusmarihadi, S. Hut menjelaskan Program Perhutanan Sosial adalah upaya pemerintah untuk mengajak masyarakat agar memiliki kesadaran kolektif untuk menjaga kelestarian hutan yang masih ada dan mengembalikan fungsi hutan yang sudah diduduki oleh masyarakat. Hasilnya bisa dinikmati kembali oleh masyarakat yang bermitra itu.

"Tetapi program kemitraan ini jangan disalahartikan. Program ini untuk kawasan hutan yang sudah lama diduduki oleh masyarakat bukan mbuka hutan lalu mengajukan permohonan untuk kemitraan. Tidak demikian," urainya.

Diterangkan Kus bahwa kesadaran masyarakat di dalam menjaga hutan masih sangat minim. Fakta di lapangan membuktikan hal itu. Justru yang melakukan perambahan hutan adalah anggota-anggota kelompok tani yang bermitra.

"Malah kenyataan di lapangan yang menjadi mitra ini yang ngoho bote.
Program kemitraan itu tidak salah. Yang salah adalah pelaku belum ada kesadaran secara kolektif," pungkasnya.
(emo).