Nyoman Rema : Menhir di Saneo Termasuk Tradisi Megalitik

Kategori Berita

.

Nyoman Rema : Menhir di Saneo Termasuk Tradisi Megalitik

Koran lensa pos
Senin, 21 Juni 2021


Dompu, koranlensapost.com - Di puncak Gunung Lomba Na'a Desa Saneo Kecamatan Woja Kabupaten Dompu NTB terdapat sebuah menhir setinggi 1,5 meter dari permukaan tanah. Masyarakat setempat menyebutnya Wadu Panta (Batu Pancang).

I Nyoman Rema dari Balai Arkeologi Bali setelah melihat secara langsung model batu tersebut pada hari Senin (21/6/2021) menyebutkan bahwa batu menhir itu adalah tradisi megalitik atau kebudayaan megalitikum yaitu bentuk-bentuk praktik kebudayaan yang dicirikan oleh pelibatan monumen atau struktur yang tersusun dari batu-batu besar (megalit) sebagai penciri utamanya.


"Menhir ini adalah tradisi megalitik tetapi belum bisa diketahui pasti masanya. Ini perlu penelitian lebih lanjut," jelas Rema.

Dikemukakan Rema besar kemungkinan bahwa menhir tersebut  digunakan oleh para leluhur masyarakat Saneo di masa animisme (sebelum Islam) sebagai tempat pemujaan. Hal itu ditandai dengan adanya selasar yakni batu-batu yang tersusun rapi di sebelah timur dan barat menhir. Selain itu ada pula dua lubang di dekat menhir yang kemungkinan dijadikan sebagai tempat menyimpan benda-benda persembahan 
yang oleh warga setempat menyebutnya dengan toho ra dore (semacam sesajen).


Tokoh Pemerhati Sejarah dan Budaya Dompu Syafrudin, ST., MT yang turut meninjau keberadaan menhir itu juga memiliki dugaan yang sama. Ia mengatakan bahwa peradaban di Saneo telah ada sejak masa Ncuhi yang masih menganut kepercayaan terhadap animisme. Mereka meyakini adanya kekuatan gaib yang disebut Parafu. Menhir tersebut kemungkinan dijadikan sebagai tempat acara ritual persembahan atau pemujaan terhadap parafu. Apalagi posisinya yang berada di puncak bukit.
Master Udin juga mengulas bahwa batu menhir tersebut juga mengandung pesan moral para leluhur kepada generasi selanjutnya bahwa kawasan sekitar harus dijaga kelestariannya, tidak boleh dirusak.
"Batu menhir ini juga mengandung hukum yang tidak nampak," ucapnya.

Sedangkan Abdullah Ahmad (65) warga Desa Saneo yang menjadi penunjuk jalan mengatakan bahwa nenek moyang masyarakat Saneo dulu (Saneo Ma Ntoi / masyarakat Saneo kuno) bermukim di Doro Mantua (di gunung sebelah barat lolasi menhir). Setelah itu mereka pindah ke Saneo hingga beranak pinak saat ini. 


"Yang tidak mau pindah ke Saneo ada yang pindah ke arah barat yaitu di Taropo, Mbuju dan Kilo (di Kecamatan Kilo Kabupaten Dompu). Itulah sebabnya hingga kini hubungan kekerabatan antara masyarakat Saneo dengan masyarakat di Kecamatan Kilo tetap terjalin dengan baik. Bahkan untuk menyatukan kembali hubungan famili, banyak orang Kilo nikah dengan orang Saneo," ujar Dole, panggilannya.

Diterangkan Dole, bahwa Wadu Panta (menhir) ada kaitannya dengan proses migrasi itu. Ia menyebutkan menurut penuturan para tetua di kampungnya bahwa sebelum migrasi, leluhur masyarakat Saneo menyimpan sesuatu benda. Namun tidak disebutkan jenis benda itu.
"Wadu Panta ini sebagai penanda adanya benda yang disimpan itu," ucapnya. 

Dole menyebut juga bahwa pada masa-masa kecilnya dulu Wadu Panta itu oleh masyarakat setempat menganggap sebagai tempat keramat.

Sementara itu, Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Dompu, Wahyono, S. Sos mengemukakan kehadiran Tim Balar Bali bersama rombongan dari Disbudpar Kabupaten Dompu  yang didampingi oleh Komunitas Adat Ncuhi Saneo di bawah bimbingan Bung Fudin ke lokasi menhir Saneo adalah sebagai upaya untuk menelusuri jejak peradaban yang ada di Desa Saneo sebagai salah satu desa tua di Kabupaten Dompu. Ia mengatakan tidak menutup kemungkinan akan ada penelitian lebih lanjut guna mengetahui lebih banyak jejak sejarah di wilayah tersebut. 


"Pada bulan ini (Juni 2021) Tim Balar fokus penelitian di Daerah Aliran Sungai Laju dan di bulan Juli di Doro Bente Tonda (Desa Mumbu Kecamatan Woja,red). In sya'allah selanjutnya akan ada penelitian lebih lanjut di Saneo," kata Wahyono.


Pada kesempatan tersebut I Nyoman Rema dari Balar Bali menyampaikan harapan kepada masyarakat setempat agar menjaga kelestarian kawasan hutan di sekitar batu menhir 

"Supaya peninggalan sejarah tidak hilang maka harus dilakukan dijaga hutan di sekitar ini dan untuk menjaga lingkungan kita," pintanya. 
Perjalanan rombongan Tim Napak Tilas Sejarah Saneo ini dipandu oleh tokoh-tokoh muda pegiat sejarah dan budaya yang tergabung dalam Komunitas Adat Ncuhi Saneo. Di antaranya Bung Fudin dan Fasul Taho (Nurajin). (emo).