Mataram NTB, koranlensapos.com
Nusa
Tenggara Barat (NTB) menjadi salah satu provinsi yang dijadikan lokasi
deklarasi ''Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak'' di Indonesia. Hal ini karena
NTB menjadi 5 dari 34 provinsi dengan angka perkawinan anak tinggi. Council of
Foreign Relations telah merilis Indonesia sebagai salah satu dari sepuluh
Negara atau ketujuh di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak.
Indonesia adalah yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Hal ini
disampaikan Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartika Sari, SH, dalam
sosialisasi gerakan ini di Taman Budaya Mataram, kemarin. Dikatakannya,
kegiatan seperti ini dilaksanakan sebab mengingat jumlah perkawinan secara
nasional sudah melebihi 45 persen dari jumlah perkawinan seluruh indonesia, dan
didominasi oleh pernikahan usia 18 tahun. NTB juga merupakan salah satu
Provinsi yang memiliki ide atau gagasan membuat kebijakan pemberhentian
perkawinan anak.
Dalam
sambutannya Wagub NTB, H. Muh Amin, SH. M. Si secara singkat menyampaikan bahwa
pemerintah provinsi NTB dan kabupaten/ kota, mendukung penuh program
pendewasaan usia perkawinan dengan minimal usia perkawinan umur 21 tahun,
tentunya dengan menekan angka pernikahan anak yang juga menjadi prioritas dalam
RPJMD kita. Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) juga telah mendukung
program pemerintah yakni program Keluarga Berencana, ''anak itu menimang
prestasi bukan menimang anak, prestasi lebih dulu, karena itu dalam gerakan ini
kita lakukan secara bersama-sama'', pungkas Muh Amin. Nantinya berbagai macam
regulasi senantiasa terus diwujudkan agar PUP bisa dikendalikan dan dicegah dan
NTB dapat memperoleh generasi emas. Selain di NTB, gerakan serupa juga
dilakukan di 4 provinsi lainnya, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi
Selatan. Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak, sangat diharapkan dapat mengubah
mindset baik dari para pengambil keputusan maupun masyarakat bahwa perkawinan
anak sangat merugikan bagi Negara, masyarakat bahkan anak itu sendiri. Dan
hasil dari Gerakan Bersama ini dapat mendorong adanya payung kebijakan dalam
pencegahan dan penghapusan terhadap praktek perkawinan anak. (M.Salahudin Mataram)