Mengingat Mantan di Kampus Biru, Dompu

Kategori Berita

.

Mengingat Mantan di Kampus Biru, Dompu

Koran lensa pos
Selasa, 30 April 2024

Kota Dompu mengingatkan saya pada seorang perempuan. Kala itu di tahun 2013 ketika saya pulang dari tanah perantauan untuk kali pertama. Tanah dimana saya menghabiskan waktu menimba ilmu dan pengalaman. Sebuah kota yang pernah bersimbah darah dan air mata karena berjibaku mengusir kolonialisme bangsa Eropa di masa silam. Di tanah itu, orang-orangnya pemberani. Badik mudah terhunus ke udara. Marah sejadi-jadinya jika harga diri suku bangsanya dicabik-cabik oleh keangkuhan serta kesombongan bangsa kolonial.

Di kota itulah saya bersemai hari dengan hiruk-pikuk warganya. Menjalin pertemanan tanpa mengenal kasta. Kota dimana Sultan Hasanuddin mengibarkan bendera perang pada mereka yang datang mengganggu kedamaian suku bangsanya. Mengusir mereka yang ingin memonopoli perdagangan di kawasan timur Nusantara. Genderang perang ditabuhkan. Kapal-kapal perang disiagakan. Meriam diledakkan demi harga diri dan kehormatan bangsa.

Di kota itu pula, lahir cendekiawan seperti Karaeng Pattingalloang. Seorang intelektual hebat di masanya. Dikagumi dunia karena kecerdasaannya. Dirinya menjadi katalisator manusia Nusantara yang bisa menyaingi kecerdasan manusia barat yang pongah. Dirinya panutan. Dia dikenal bijak dalam memutuskan perkara. Melerai masalah demi terciptanya kedamaian di kotanya. Sebuah kota dagang yang menjadi tempat singgah kapal-kapal dari semua penjuru mata angin. Para pedagang diterima sebagai sahabat tanpa harus berselisih.

Sekian tahun saya berpijak di kota itu. Merawat harapan demi masa depan yang cerah di kampus merah. Dan setelah mendapat gelar, saya pun pulang kampung. Meninggalkan kenangan yang pernah dirajut bersama orang-orang hebat. Mereka masih terkenang dalam labirin memori. Sungguh beruntung bisa mengenal mereka. Sebuah perjalanan hidup yang kelak akan selalu dikenang.

Sepulang itulah, saya akhirnya bertemu dengan perempuan itu. Seorang perempuan yang singgah di palung hati, walau singgah tak seberapa lama. Namun kenangan bersamanya, tak pernah lekang oleh waktu walau sudah sekian lama berpisah. Pertemuan kami amatlah singkat. Tapi dirinya tetap hidup dalam hati yang terdalam. Mekar serupa bunga yang tersapu mentari pagi. Ingin rasanya kembali, tapi itu hanya terbesit dalam benak yang tak sampai.

Lesung pipinya membuat semesta terpesona. Tetiba melihatnya, membuat hati terkagum-kagum. Terkesima dengan parasnya yang aduhai. Tak cukup alasan untuk tidak mengatakan cinta kepadanya. Dirinya menyambut, lalu kami pun menenun kisah asmara di ujung senja. Berlayar di tengah gelombang yang sesekali pasang. Mengarungi ruang samudra yang tak bertepi. Singgap di kepulauan harapan dengan impian yang dilangitkan.

Mula-mula saling menguatkan. Namun semakin hari, gelombang mulai mengamuk. Cuaca perlahan tak bersahabat. Karakter perlahan terkuak karena cobaan. Cinta yang pernah bertaut goyah di ambang perpisahan. Dan akhirnya kami memutuskan untuk tak bersama lagi. Di jalan simpang kami berpisah. Mengakhirinya dengan kesudahan yang tak menyenangkan. Lalu sedih menyelimuti hari. Tapi itu sesaat, karena sempat melangitkan harapan untuk bersamai ingin untuk hidup bersama.

Kenangan bersama perempuan itu bermula  ketika saya menjadi staf pengajar di kampus swasta kota kabupaten Dompu. Sebuah kota juang yang sultannya pernah diasingkan ke pulau timur karena menentang penjajah. Perempuan itu hadir menjadi penenang kala duka lara menggelayut. Ketika bertemu di kampus, ia selalu memberi semangat. Ia mahasiswi angkatan pertama di kampus itu. Dari sekian mahasiswi, hanya dia yang mampu memikat hati. Menatapnya seolah tak menyisakkan keraguan di hati untuk menyintainya.

Tidak saja di ruang kelas, di luar sesekali kami mengikat janji untuk bertemu. Kadang bersama-sama temannya, kadang pula hanya berdua. Bersamanya selalu istimewa. Ia menghadirkan kehangatan kala diri ini gagap menghadapi masalah. Dirinya selalu menjadi solusi ketika duka lara menggelayut dalam pikiran. 

Namanya yang indah, tak bosan terucap. Menatapnya dunia terasa damai. Keharmonisan begitu menyatu kala memegang jemarinya yang putih. Senyumnya  yang mempesona membuat yang memandang akan terkesima. Bersamanya adalah kebahagiaan yang tak terkira. Ia begitu indah. Memilikinya adalah anugerah. Dunia sejenak berhenti menikmati indahnya.

Kami sering bersama, sejak memutuskan merajut cinta di kampus itu. Jika di luar kampus,  saya dengannya selalu menghindar membahas perkuliahan. Kami berhasil memisahkan urusan privasi dan profesional kerja. Jika di kampus, saya adalah dosennya, namun ketika di luar, kami menjadi sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara. Saling merindu kala menjauh. Kala sibuk menyertai hari. Selalu ingin bersama walau tak seberapa penting topik yang dibahas. Semuanya begitu penting kala bersamanya. Seolah tak menyisakkan waktu sedikitpun hanya ingin untuk bersama.

Kini semua itu menjadi kenangan yang hanya bisa dikenang. Perpisahan itu bermula ketika saya ingin kembali melanjutkan studi di kota Daeng, Makassar. Itu di tahun 2014. Ia ingin hubungan yang pernah terjalin bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan terlebih dahulu. Namun saya menolak dengan segala pertimbangan. Ia ingin hubungan ini dihalalkan. Saya menolak dengan cara yang baik. Ia bersekukuh. Perpisahan menjadi jalan keluar, karena bersilang pandangan.

Kala itu saya belum memiliki apa-apa. Saya tidak memiliki penghasilkan yang cukup untuk berlayar dengan kapal bernama pernikahan. Penghasilan menjadi dosen masih diperuntukkan untuk membiayai dua adik saya yang masih kuliah di kota terjauh. Memilih tidak menikah bukan takut akan gelombang yang sewaktu-waktu datang menghempas. Bukan pula khawatir melayari samudra kehidupan rumah tangga yang penuh tantangan. Bahkan saya juga tidak menaruh kekhawatiran yang berlebihan pada bajak laut yang sewaktu-waktu menghadang lalu mencerai beraikan rumah tangga saya dengannya.

Namun kesempatan melanjutkan studi dengan beasiswa dari pemerintah nampaknya tidak bisa disia-siakan. Pilihan melanjutkan studi sudah bulat diputuskan, walau harus berpisah dengannya. Semua terpaksa dipertaruhkan demi masa depan yang lebih baik. Bukankah jodoh tidak akan ke mana. Semua yang baik pasti akan kembali. Karena berbeda pilihan itulah mengakhiri semua yang pernah terjalin dengan penuh kasih sayang bersamanya.

Sekembalinya dari tanah perantauan untuk yang kedua kalinya, saya masih merawat kenangan indah bersamanya. Saya masih ingat kepingan-kepingan kisah sewaktu saat bersamai rindu dengannya. Walau hanya bisa dikenang, tapi itu cukup memberikan bahagia pada hati yang pernah menautkan rasa pada seorang perempuan. Sekira tiga tahun usai mendapatkan gelar yang kedua, saya mendengar kabar bahwa ia sudah menikah dengan lelaki pilihannya. Bahkan dari kabar itu, ia telah bahagia hingga sudah memiliki momongan, buah dari pernikahannya.

Saya pun tak pernah berharap dirinya merasakan hal yang sama. Saya tak ingin membuatnya bejibung dengan mengenang kembali masa-masa itu. Masa bersama yang kini hanya bisa dikenang kembali dalam lajunya waktu. Dan kini semua jauh ditinggal oleh keangkuhan sang waktu. Melaju dengan kisah-kisah baru yang berkelindan.

Saat menulis kisah ini, tiba-tiba satu lagu dari band Naff samar-samar terdengar dengan mengalun indah dari rumah tetangga.

"Jauh di lubuk hatiku, masih terukir namamu. Jauh di dasar jiwaku, engkau masih kekasihku".