Mawaa Taho, Raja di Kerajaan Dompu yang Bijaksana, Kesatria dan Paling Legendaris

Kategori Berita

.

Mawaa Taho, Raja di Kerajaan Dompu yang Bijaksana, Kesatria dan Paling Legendaris

Koran lensa pos
Kamis, 08 Februari 2024
           Raja Mawaa Taho 
          (gambar ilustrasi)



Oleh: Ben Ya’kub Jama’a

Dewa Mawaa Taho atau Raja Mawaa Taho adalah seorang raja di Kerajaan Dompu yang terakhir memeluk Hindu dan memerintah diduga sekitar pertengahan Abad ke-16.

Dewa Mawaa Taho dikenal sebagai penguasa Kerajaan Dompu yang sangat berwibawa, bijaksana dan sangat pemberani.

Oleh karena semua kelebihannya itulah Dewa Mawaa Taho dikenal di kalangan penduduk asli Suku Dompu sebagai raja paling legendaris di Kerajaan Dompu.

Dewa Mawa’a Taho adalah ayah dari sultan pertama di Kesultanan Dompu, yaitu Sultan Syamsuddin Mawa’a Tunggu atau di daerah lain disebut Mawa’a Tonggo.

Sultan Syamsuddin yang bernama asli La Bata Na’e diperkirakan masuk Islam berkat dakwah seorang ulama dari Arab yakni Syekh Nurdin dan anaknya bernama Syekh Abdul Salam.

Sultan Syamsuddin memperistri sepupunya sendiri, puteri dari bibinya yang menikah dengan Syekh Nurdin, ia bernama Jauhar Manikam.

 
Syekh Nurdin menikahi saudara perempuan Raja Dewa Mawa’a Taho atas restu Sang Raja dan mendapat 3 anak yang bernama Abdul Salam, Abdul Ghani (atau Abdullah) dan Jauhar Manikam.

Tradisi lisan Dompu menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Raja Dewa Mawa’a Taho, datanglah seorang ulama asal Mekkah bernama Syekh Nurdin.

Syekh Nurdin kemudian meminta bertemu dengan Dewa Mawa’a Taho di istananya. Sang raja pun mengabulkan permohonan tersebut.

 
Syekh Nurdin pun akhirnya menghadap kepada Dewa Mawa’a Taho dan memperkenalkan dirinya. Kemudian ia menyampaikan tentang Islam dan mengajak sang raja untuk memeluk Islam.

Dewa Mawa’a Taho masih enggan untuk memeluk agama yang ditawarkan oleh Syekh Nurdin. Namun ia tidak melarang sang ulama untuk menyebarkan ajarannya di Kerajaan Dompu.

Setelah itu Syekh Nurdin mulai menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat di Kerajaan Dompu. Sehingga pada suatu hari saudara perempuan raja pun tertarik untuk memeluk agama Islam.

 
Saudara perempuan Raja Dewa Mawa’a Taho meminta izin kepada Sang Raja untuk memeluk agama Islam dan belajar kepada Syekh Nurdin.

Raja pun memberikan izin kepada saudara perempuannya itu untuk masuk Islam sehingga saudara perempuannya itu akhirnya bersyahadat dan mengubah namanya menjadi Hadijah.

Setelah bersyahadat, Hadijah pun belajar kepada Syekh Nurdin untuk memperdalam pengetahuannya tentang ajaran agama Islam.

Beberapa lama kemudian, Syekh Nurdin meminang Hadijah kepada Raja Dewa Mawa’a Taho. Lamaran itu akhirnya diterima sehingga raja menikahkan Hadijah dengan Syekh Nurdin.

Dari pernikahan itu akhirnya mereka berdua dikaruniai tiga orang anak bernama Abdul Salam, Abdul Gani (dalam versi lain namanya Abdullah), dan Jauhar Manikam.

Syekh Nurdin tetap tinggal di Dompu bersama istrinya hingga anak-anaknya besar. Ia juga terus menyebarkan ajaran agama Islam kepada rakyat di Kerajaan Dompu.

Pada suatu hari, Syekh Nurdin mengajak seluruh anggota keluarganya untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Mereka pun meminta restu raja kemudian berangkat ke Mekkah.

Syekh Nurdin dan keluarganya tinggal beberapa waktu di Mekkah.Namun tak lama kemudian Syekh Nurdin dan anaknya bernama Abdul Gani (Abdullah) meninggal di sana.

Hadijah pun kemudian kembali ke Kerajaan Dompu bersama dua orang anaknya yang masih hidup. Anaknya yang tertua  sudah menjadi ulama yaitu Syekh Abdul Salam.

 
Sesampainya di Kerajaan Dompu, Hadijah, Jauhar Manikam dan Syekh Abdul Salam menghadap kepada Raja Dewa Mawa’a Taho di istananya.

Mereka bertiga membawa oleh-oleh berupa sebuah Al-Qur’an tulisan tangan yang disebut sebagai Karo’a Pidu yang sangat dikeramatkan oleh keluarga Kerajaan Dompu.

Karo’a Pidu dianggap memiliki berkah, disimpan di dalam sebauh kotak khusus dan tidak sembarang orang boleh melihat dan menyentuhnya.

 Jika terjadi sebuah masalah seperti bencana kekeringan, rakyat Dompu akan keluar dengan arak-arakan mengusung Karo’a Pidu untuk meminta hujan kepada Tuhan.

Sampai saat ini Karo’a Pidu disimpan oleh keturunan Kesultanan Dompu terakhir yang saat ini tinggal di Pulau Lombok.

Kembali kepada Raja Dewa Mawa’a Taho, orang masih memperdebatkan apa agama sang raja. Sebagian mengatakan ia telah masuk agama Isla, namun sebagian lagi menolaknya.

Ketika Raja Dewa Mawa’a Taho mbora (meninggal dunia), para pembesar Kerajaan Dompu pun berdebat tentang apa agama Sang Raja, apakah sudah Islam ataukah masih memeluk agama lamanya.

Perdebatan berlanjut tentang dengan cara apa Raja Dewa Mawa’a Taho dimakamkan. Apakah menurut cara agama lamanya ataukah menggunakan tata cara pemakaman menurut agama Islam.

Perdebatan pun diakhiri, para pembesar kerajaan memutuskan untuk mengurus jenazah Dewa Mawa’a Taho menurut agama lamanya.

Raja Dewa Mawa’a Taho menurut tradisi lisan Dompu merupakan raja yang menghadapi invasi Kerajaan Majapahit dari Jawa pada Abad ke-14.

Menurut tradisi lisan tersebut, serangan Majapahit terjadi dalam dua kali serangan dan pada serangan yang pertama Dewa Mawa’a Taho memimpin pasukan Kerajaan Dompu memukul mundur pasukan Majapahit.

Meskipun demikian, belum ada bukti akan hal ini, catatan Kitab Pararaton hanya menyebut serangan Majapahit atau dikenal sebagai Ekspedisi Padompo hanya terjadi sekali pada tahun 1357 M.(*) 

Sumber:

Israil M. Saleh, Naskah Sekitar Kerajaan Dompu, 1985.

Lalu Wacana dkk, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, 1977/1978.

Mustakim AR, Naskah Sejarah Kebudayaan Daerah Dompu, 1995.

Wawancara dengan Sesepuh Dompu (Pengurus Majelis Adat Dana Dompu) tahun 2020.