Kakekku Seorang Veteran Sejati

Kategori Berita

.

Kakekku Seorang Veteran Sejati

Koran lensa pos
Selasa, 05 Oktober 2021

 Oleh: Nurmarinda Dewi Hartono*

     Alm. H. Suwarno Atmojo, Bupati Dompu Periode 1969-1975 dan 1975-1979. (Foto koleksi keluarga)



Kakekku adalah seorang pejuang kemerdekaan. Aku mengenalnya bukan karena pernah bertemu, duduk mengobrol, atau melihatnya memakai seragam veteran secara langsung. Aku mengenal sosok pejuang itu hanya dari sebingkai foto dan banyaknya prasasti lencana yang tergantung di dinding rumah nenek sewaktu kecil. Setiap hari raya aku terbiasa mengunjungi kakekku bukan di pemakaman umum, namun pemakaman khusus yang 
bertuliskan Taman Makam Pahlawan. 
Sejak itu aku tahu bahwa kakekku adalah seorang pahlawan kemerdekaan.

Menjadi cucu dari seorang pahlawan merupakan sebuah kehormatan dan kebanggaan karena tidak semua manusia mendapatkan kesempatan itu. Meskipun aku lahir empat tahun 
setelah kakek yang kupanggil Mbah itu tiada, namun sosoknya yang ku dengar dari cerita orang tua serta paman dan bibi, tak membuatku beralasan untuk tidak mengaguminya. Tiap kali mendengar kisah Mbah di masa perjuangan hingga menutup usia, aku selalu ikut terhanyut membayangkan betapa ksatrianya sosok Mbah dalam mempertahankan kedaulatan 
NKRI dan jasa beliau dalam membangun negeri ini.

Mbah Warno, begitu para cucu menyebutnya, memiliki nama lengkap Suwarno Atmojo. Setelah beliau berangkat haji kemudian lebih dikenal dengan Haji Achmad Suwarno Atmojo. 
Beliau lahir di sebuah desa di kaki Gunung Kawi bernama Desa 
Maguan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, Jawa Timur 
pada tanggal 4 April 1925. 

Beliau adalah anak kedua dari tujuh 
bersaudara. Ayah beliau adalah seorang guru Sekolah Rakyat bernama Sastro Atmojo, dan ibu beliau bernama Siti Aminah. Menjadi seorang anak yang hidup di masa penjajahan Belanda tidak mejadikan Mbah Warno surut dalam mengenyam pendidikan di bangku 
sekolah. Beliau pernah bersekolah di Vervolk School pada tahun 1932-1937 dan Shakel School pada tahun 1937-1938. Beliau juga pernah mengikuti kursus guru pada tahun 
1939-1941. Semangat Mbah dalam dunia pendidikan di masa sekolah itu menjadikan beliau sebagai seorang asisten guru dan berkesempatan mengajar di Sekolah Rakyat seiring masa mudanya.

Pada tahun 1942 saat masa pendudukan Jepang, dibukalah pendaftaran bagi para pemuda Indonesia untuk menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air). Pada saat itu, Mbah yang masih berusia 17 tahun dan merupakan seorang guru pembantu merasa terpanggil untuk mengikuti pendaftaran PETA. Semangat Mbah untuk mengikuti PETA tidak lain karena ingin ikut membela tanah air yang sedang dijajah dengan segala kemampuan yang dimilikinya, 
tidak peduli dengan usia yang masih belia ataupun risiko yang akan dihadapinya ke depan. Mbah pun memutuskan untuk beralih dari kebiasaan sehari-harinya mengajar di sekolah menjadi seorang tentara PETA yang dilatih untuk bertempur di medan perang. Setelah mengikuti pendaftaran, Mbah berhasil lulus menjadi anggota tentara PETA hingga diberi kepercayaan untuk menjadi komandan regu peleton dalam berbagai pertempuran perang untuk merebut kemerdekaan. Kepercayaan yang diberikan tentu menyiratkan bahwa Mbah memiliki jiwa kepemimpinan dan patriotis yang tidak diragukan. 

Adik kandung Mbah pernah bercerita padaku tentang masa itu saat Mbah menjadi komandan regu. Seringkali serombongan tentara Jepang mencari Mbah hingga ke rumah dengan maksud untuk menangkapnya. Dengan pertolongan Allah, Mbah selalu berhasil 
selamat dari ancaman maut itu. Tak jarang Mbah sampai bersembunyi di atas langit-langit rumahnya demi mencari selamat. Mbah juga terkadang melakukan penyamaran agar tidak 
diketahui saat tentara Jepang mengincarnya. Sebuah bekas luka di kening beliau yang masih 
membekas hingga akhir hayatnya adalah saksi sejarah bahwa Mbah pernah mengalami kecelakaan mobil akibat dikejar-kejar oleh tentara Jepang. Kejadian lolos dari maut sudah 
sering dialaminya. Banyak peristiwa pertempuran yang dilalui oleh Mbah Warno tidak banyak diceritakan namun dari cerita yang aku dapat saja sudah menggambarkan betapa heroiknya 
perjuangan Mbah Warno saat itu. 

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Mbah Warno bergabung dalam TNI-AD yang menjadi awal karir Mbah selanjutnya di beberapa daerah di Indonesia. 

Pada tahun 1950, 
beliau ditugaskan di wilayah Bali dengan wilayah teritorial Bali, Lombok, dan Sumbawa. Kemudian pada tahun 1951, Mbah menikah dengan seorang wanita berdarah Banjar-Lombok, 
seorang putri penjahit di Kampung Ampenan, bernama Siti Fatimah. Dari pernikahan tersebut Mbah dikaruniai sebelas orang anak. Kesebelasan ini terdiri dari tiga orang puteri dan delapan orang putera. Dikarenakan tugas militer yang berpindah-pindah tempat, putera dan puteri Mbah lahir di berbagai 
daerah pula. Dua anak lahir di Jawa, tiga anak lahir di Bali, tiga anak lahir di Lombok, dan tiga anak lainnya lahir di 
Dompu. Saat ini Mbah memiliki dua puluh tujuh orang cucu dan tiga puluh orang cicit yang tinggal di berbagai 
pulau seperti: Jawa, Lombok, Dompu, Sulawesi, dan Kalimantan.


Tugas militer yang dijalankan oleh Mbah Warno semasa hidupnya membawa prestasi gemilang yang 
ditorehkannya selama bertugas di berbagai wilayah. 
Berikut adalah riwayat jabatan yang lernah dijalankan oleh Mbah dari tahun 1944-1967: PETA DAI V DAI DAN (1944-1945), 
Komandan Regu (BKR) Ngajum Malang (1945), Komandan Seksi IV INF I. RES 38 (TKR) 
(1945-1946), Komandan Seksi IV INF I. RES 38 (TKR) (1946-1948), Anggota Personalia 
Kodim Malang (1948-1949), Bintara Persenjataan Inf. 30. BE IV. Div I (1949-1950), ADJ. 
DANKI IV IN.30 DIV. I (1950), Instruktur DEP. BN.INF.VI (1954), Instruktur DEP. BN.BDI 
Kediri Bali (1954), Siswa SECAPA INF (Bandung, 1959), Komandan Peleton I Kompi III 
706 Lombok (1961), PGS. PASI II Lombok YONIF 706 (1962), PASI DAN KI-A/706 
merangkap DAN SATGAS KOTIB SUMBAWA TIMUR (Bima/Dompu) (1965), DAN KI 
BAN 742 Lombok (1966), Komandan SUB. KOKAMTIB Kabupaten Dompu (1967). 

Prestasi Mbah di dunia militer juga dibuktikan dengan beberapa bintang dan tanda jasa yang diperolehnya, yaitu: Bintang Grilya Nomor 115719, dalam rangka penugasan Perang 
Kemerdekaan melawan Penjajah Belanda; Medali SEWINDU APRI, dalam rangka Pengabdian tak Terputus; Satya Lencana SATYA nomor 36247, dalam Rangka Perang Kemerdekaan I (Tahun 1947-1948); Lencana AKSI MILITER KE I Nomor 8903 (Tahun 1947-1948); dan Lencana AKSI MILITER KE II Nomor 57566 (Tahun 1948-1949).

Cerita kemudian berlanjut pada pasca tragedi nasional G.30S/PKI di tahun 1965-1966, di mana Indonesia mengalami krisis sosial dan politik. Sejarah mencatat bahwa pada saat itu 
TNI ditugaskan sebagai alat negara untuk melakukan tindakan pemulihan keamanan serta penumpasan G-30S/PKI di seluruh Indonesia. Mbah ku yang sudah berpangkat Letnan Satu (Lettu) menjalankan tugas sebagai komandan khusus pemulihan keamanan di wilayah Bima dan Dompu. Sebelumya, Mbah juga pernah menjalankan tugas militer Operasi Gerombolan Malik (Malang Utara) pada tahun 1950-1951 dan penumpasan Gerombolan RMS di Pulau Seram, 
Maluku pada tahun 1961-1963.


Selama bertugas di Dompu, Mbah Warno dikenal oleh para tokoh dan masyarakat sebagai sosok yang mampu mengendalikan situasi keamanan dan ketertiban dan seringkali diandalkan untuk menjadi mediator apabila ada fraksi yang berkonflik. 

Diketahui bahwa kondisi politik yang tidak stabil di pemerintahan Kabupaten Dompu pada saat itu menjadikan 
adanya kekosongan pimpinan. Berkembanglah sebuah isu bahwa apabila kekosongan pimpinan tersebut terus berlanjut, maka pemerintahan Dompu akan digabung bersama
pemerintahan Kabupaten Bima. Hal tersebut tentu menimbulkan penolakan dari para tokoh masyarakat yang tidak ingin pemerintahan Dompu digabung dengan pemerintahan Bima. 

Beberapa tokoh masyarakat berinisiatif untuk menghadap ke Gubernur NTB saat itu, R. Wasita Kusumah yang merangkap sebagai Danrem untuk mempertimbangkan usulan mereka 
dan merekomendasikan Lettu Suwarno sebagai Bupati Dompu yang didukung oleh aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pertimbangan tersebut. 

Pada tanggal 10 Juli tahun 1967 Mbah Warno ditunjuk dan ditetapkan sebagai Plt. Bupati Dompu dengan tugas pemulihan kondisi ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan. 
Mbah Warno menjabat sebagai Bupati Dompu selama dua periode. Pada periode pertama (1969-1975), 
Kabupaten Dompu saat itu hanya terdiri dari empat kecamatan, yaitu: Dompu, Hu’u, Kilo, dan Kempo. 

Kondisi Dompu saat itupun masih terisolasi, kebutuhan Sumber Daya 
Manusia masih sangat terbatas, kondisi infrastruktur yang sangat minim, serta kondisi keuangan daerah yang minus. Kondisi serba kekurangan itu 
membuat Mbah Warno melakukan sebuah gebrakan perubahan yakni dengan mengirim putera-puteri daerah Dompu untuk mengikuti pendidikan ke daerah luar untuk mengambil 
pendidikan yang dibutuhkan seperti sekolah keuangan, APDN, dan sebagainya. Mbah Warno sebagai Bupati mendorong penuh para putera daerah untuk belajar ke 
luar Dompu. Bahkan rumah Mbah di Mataram pun dijadikan sebagai asrama sementara bagi putra Dompu yang sedang mengenyam pendidikan. 

Ada hal berharga yang aku pelajari dari 
cerita di bagian ini. Hal utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah Sumber Daya Manusia sebelum hal lainnya seperti ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Bagi Mbah 
Warno, kesejahteraan suatu daerah ditentukan dari kualitas Sumber Daya Manusianya. Oleh karena itu Mbah terlebih dahulu “menyekolahkan” putera-puteri daerah untuk selanjunya dapat membangun Dompu menjadi lebih baik. 

Selain mengurusi bidang pendidikan, Mbah juga menggerakkan ekonomi rakyat dengan cara mendatangkan beberapa pengusaha dari luar daerah dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Dompu. Untuk menunjang kebutuhan masyarakat, dibangun pula 
bendungan-benduungan yang hingga saat ini masih ada. Pada saat itu Kabupaten Dompu juga belum memiliki Kantor Bupati seperti di masa sekarang. Pada saat itu Kantor Bupati dan 
kediaman Bupati masih menjadi satu di tempat yang saat ini bernama Wisma Praja. 

Sebelumnya, Kantor Bupati menjadi satu dengan gedung DPRD. Pada periode pertama ini juga menjadi sejarah penting bagi Kabupaten Dompu bawa ditetapkannya Peraturan Daerah 
tentang lambang daerah dan motto daerah, melalui sayembara yang diikuti oleh ratusan peserta. Dimana pada saat itu, Kabupaten di NTB yang sudah memiliki logo dan motto daerah 
hanya beberapa daerah Kabupaten saja. Hal penting lainnya yang Mbah Warno lakukan adalah mendukung terselenggaranya Pemilu pertama di era Orde baru pada tahun 1971
dengan sukses.

Setelah lima tahun berlalu, periode pertama pun berakhir, kemudian Mbah terpilih kembali menjadi Bupati Dompu pada periode kedua pada tahun 1975-1979 melalui proses pemilihan di DPRD. Pada periode kedua ini, birokrasi pemerintah semakin membaik
tatanannya. Para putera daerah yang dikirim untuk sekolah di luar daerah telah menamatkan pendidikannya dan menjadi pejabat di pemerintahan. Sumber Daya Manusia semakin 
membaik, seiring dengan dimulainya pembangunan di daerah-daerah terisolir oleh Pemerintah Pusat. Banyak jalan mulai dibuka, transportasi semakin lancar dan hasil pertanian serta 
perikanan mulai membaik. Penataan kota juga mulai dibangun secara bertahap. Kantor Bupati dan Pendopo yang dahulunya masih satu atap dengan bangunan lain, saat itu mulai dibangun. 

Pada tahun 1979 masa bakti Mbah Warno sebagai Bupati Dompu berakhir bersamaan dengan berakhirnya karir beliau di militer. Mbah Warno pensiun dengan pangkat terakhir sebagai Letnan Kolonel. Setelah tidak menjadi Bupati, Mbah dan keluarga memutuskan 
kembali ke Kota Mataram (tempat tinggal sebelumnya). Di masa tersebut, Mbah tidak berhenti berkarya di jalur politik dan legislatif. Beliau dipercayakan sebagai Ketua DPD 
Golkar Dati II Lombok Barat selama dua periode (1979-1987). Kemudian, selama dua periode juga Mbah menjadi pimpinan DPRD Kabupaten 
Lombok Barat (1983-1992).
Usai mengabdi di jalur politik dan legislatif, Mbah Warno kemudian menjadi Ketua Legiun Veteran RI Lombok Barat. Mbah Warno menjadi seorang veteran sesuai dengan 
Surat Keputusan Departemen Pertahanan Keamanan No.Skep/956/VIII/1981 tentang Pengakuan, Pengesahan, dan 
Penganugerahan Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI dengan Nomor Pokok Veteran (NPV) 
21.145.414, golongan A, masa bakti 4 tahun 2 bulan. Beliau juga merangkap sebagai ketua Angkatan 45 hingga akhir hayatnya. Mbah Warno dipanggil ke 
pangkuan Tuhan Yang Maha Esa pada Tanggal 6 Agustus Tahun 1996 di Kota Mataram pada usia 71 tahun. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Majeluk Kota Mataram. 

Demikian sepenggal kisah tentang sosok kakek yang sangat aku banggakan. Mbah ku menjadi inspirasi anak dan cucunya untuk selalu mencintai negeri ini dan terus mengabdi demi kepentingan bangsa dan negara. Sejak usia remaja Mbah sudah memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi untuk membela tanah air. Hal itu menjadi semangatku untuk meneruskan perjuangan Mbah meskipun dengan cara yang berbeda di masa kini. Jasa Mbah juga masih terasa di kota kecil yang saat ini menjadi tempat tinggalku, Kabupaten Dompu. 
Bangunan kantor Bupati yang ada saat ini, lambang dan motto daerah “Nggahi Rawi Pahu” yang menjadi kebanggaan masyarakat, SDM yang terus berkembang pesat adalah sebuah gebrakan yang dimulai oleh Mbah-ku. Walaupun Mbah bukan putera asli Dompu, namun beliau rela mencurahkan jiwa raganya untuk membangun daerah kecil ini dari nol. Hal-hal tersebut menjadi inspirasi dan pelajaran penting bagiku sebagai generasi penerus beliau untuk 
mengabdi tanpa henti, mengabdi tanpa pamrih. Tidaklah ragu untuk menyebut beliau sebagai seorang pejuang sejati dan veteran sejati. 
(*Tulisan ini meraih Juara 1 pada Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional Tentang Keveteranan yang diselenggarakan oleh Mabes LVRI Dalam Rangka Harvetnas 2021).