Perang Simbol Akibat Kekosongan Isi Otak

Kategori Berita

.

Perang Simbol Akibat Kekosongan Isi Otak

Koran lensa pos
Minggu, 09 Agustus 2020
FADLIN GURU DON 
OPINI - Awal mula SALAM 2 JARI dalam dunia politik Indonesia menjadi populer diperkenalkan oleh Bapak Jokowi ketika Pilpres 2014 lalu. Salam 2 jari ini menjadi keramat akibat Jokowi sekaligus menjadi pemenang saat melawan Prabowo saat itu. Hal ini tidak berarti secara otomatis memastikan orang jadi pemenang, Tetapi perlu bumbu-bumbu pemantik simpati dan empati publik dengan program-program unggulan yang kebaruan.

Seorang Jokowi kepribadiannya kompleks, dari pribadinya yang merakyat secara nyata, menghadirkan visi dan program-program besar yang tidak dimiliki oleh presiden sebelumnya. Jokowi juga berangkat dengan prestasi gemilang dari Wali Kota hingga Gubernur.  Artinya sangat wajar diterima oleh lapisan masyarakat Indonesia.

Salam dua jari tidak bisa hanya diadopsi dengan cara yang serampangan tanpa mengukur prestasi, apalagi meminta 2 periode sementara persoalan pupuk yang sederhana saja sangat sulit diselesaikan. Belum lagi bicara soal Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada di peringkat ke 7 se-NTB dan berada diperingkat terakhir se Pulau sumbawa, jauh di bawah Kabupaten Dompu yang berada diperingkat ke 5 se-NTB. 

Harusnya sadar bahwa selama ini membangun Bima tak pernah menggunakan isi otak. Akibatnya segala simbol dipakai untuk membodohi masyarakat. Perempuan di eksploitasi saat pilkada, ibu-ibu hamil disentuh, orang-orang sakit dikunjungi padahal rumah sakit harus di urus dengan baik, anak-anak kecil di gendong dengan doa-doa palsu belaka. Kerja penuh modus dan mitos, yang sungguh mengerikan.

Bima dalam keadaan terbakar setiap saat, mereka sibuk dengan kunker dan konvoi berlebihan. Mereka berpesata pora diatas tangisan dan jeritan rakyat yang menangis kehilangan rumah tempat tinggal dan harta benda. Mereka hanya memikirkan nama baik, mereka hanya memikirkan kekuasaan, sungguh pemimpin semacam ini mengundang murka Allah SWT.

Perang Simbol dimana-mana, menggaungkan tagline lanjutkan dan perubahan tanpa isi. Semuanya hanyalah ikon dan atribut semata. Menjual prestasi usang non produktif, memamerkan piagam tak bernilai. Meributkan soal banyak massa padahal itu adalah rekayasaan. Mereka lupa bahwa subtansi kekuasaan adalah kesejahteraan rakyat.

Mereka-mereka itu tidak lebih dari pertarungan gengsi dan obral nama baik. Pertarungan balas dendam kusumat. Semua simbol dicomot untuk melegitimasi pikiran rakyat.

Pejabat dan pegawai bagai hidup dalam sangkar, mereka serba ketakutan. Silaturrahim mereka terputus, mereka dianggap berafiliasi dengan calon penantang. Segala upaya dilakukan. Pemanggilan khusus dengan pemanis bernada intimidasi.

Hak demokrasi dipasung, pesta rakyat tidak lagi menggembirakan. Pilkada  hanyalah berisi sentimen  para dagelan yang tamak kekuasaan. Rakyat  hanya diperlihatkan hal-hal tak esensial, bukan berjuang atas derita yang dihadapi rakyat.

Mereka berlomba-lomba memperlihatkan kedikdayaan, mereka sibuk berbicara SK Partai, mereka berlomba-lomba Pamer massa, padahal publik sangat tau bahwa itu setingan belaka.  Sungguh tontonan yang buruk tanpa nilai sedikitpun.

Setiap saat cuma itu saja yang ditayang, padahal rakyat sedang menunggu Perubahan apa yang mereka maksud? apa yang mesti dilanjutkan? begitu sulit mereka terbuka, begitu  sulit mereka uraikan. Itulah mereka yang miskin konsep, miskin ide akibat kekosongan isi otak.

Sebagai penutup, bahwa politik simbol tak cukup bisa terjual apalagi hanya sekedar  pamer tagline dan atribut saja. Silahkan jual dan Comot jari-jari semacam Pic dibawah ini. Silahkan klaim bahwa ilustrasi ini sebagai bentuk dukungan 2 periode. Ingat bahwa jari-jemari tak cukup ampuh untuk membohongi rakyat yang menderita. (Penulis : Fadlin Guru Don - Akademisi Universitas Mercu Buana Jakarta)